Puisi Induktif Joko Pinurbo

Oleh Acep Iwan Saidi

Joko Pinurbo (Jokpin) kembali menerbitkan buku puisi. Buku tersebut ia beri judul Baju Bulan (Gramedia, 2013). Menelaah sajak-sajak dalam kumpulan ini identik dengan memahami simpul kehidupan yang berkelindan di dalam ruang dan waktu keseharian. Kehidupan manusia yang renik dan kompleks dihadirkan Jokpin dalam diksi yang padat dan kuat, tapi juga “familiar” dan bersahaja. Pada beberapa sajak, larik-lariknya bahkan acap jenaka. Membacanya kita bisa tersenyum sekaligus merenung. Jokpin seakan ingin membawa pembaca masuk silih berganti ke dalam ruang dan waktu sunyi, terharu, bahagia, berkerut, tersenyum, dan seterusnya. Suasana itu kadang juga dikirim Jokpin secara bersamaan. Kita semua tahu belaka, begitulah memang kehidupan manusia. Walhasil, sajak-sajak Jokpin adalah “narasi puitik” hidup sehari-hari. Pilihan katanya sangat dekat, bahkan berada di dalam pengalaman kita.

Baju Bulan sendiri, sebagai judul kumpulan, adalah juga judul sebuah sajak di antara 59 sajak yang lain di dalamnya. Sajak ini merupakan narasi puitik mengenai sebuah momen penting dalam kehidupan masyarakat kita, terutama ummat muslim, yakni tentang Lebaran.

Secara tematik, “Baju Bulan” mengingatkan kita pada sajak fenomenal yang ditulis Situr Situmorang, pendahulu Jokpin dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia. Untuk mengingatkan, sajak Sitor berjudul “Malam Lebaran” itu hanya terdiri atas satu larik, yakni bulan di atas kuburan. Namun, dalam banyak hal, “Baju Bulan” Jokpin berbeda dengan “Malam Lebaran” Sitor.

Sitor menulis secara deduktif. Dari pengalaman dan pemahaman tentang Lebaran, melalui sajaknya Sitor merumuskan “secara teoretik” peristiwa Lebaran. Bagi Sitor, Lebaran, sebagai peristiwa spiritual yang telah berasimilasi dengan kebudayaan itu merupakan paradoks: pertentangan kebahagiaan dengan kesedihan, terang dengan gelap, sunyi dengan hiruk-pikuk. Di situ, bulan dan kuburan menjadi pasangan yang berlawanan (oposisi biner). Dengan demikian, larik sajak ini memiliki kekuatan teoretik-sistemik. Mengaju kepada Ferdinand de Saussure dalam Culler (1986), ia menjadi semacam langua dalam bahasa.

“Puisi Induktif”
Jokpin menulis dengan cara berbeda, bahkan sebaliknya dari Sitor. Pehatikan cuplikan penuh sajak tersebut berikut ini:

“Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.”

Secara tematik, segera bisa dibaca bahwa sajak di atas memperkarakan ikhwal yang tidak jauh berbeda dengan Sitor, yakni tentang peristiwa pertentangan di malam Lebaran: hal memilukan di tengah-tengah kebahagiaan; orang yang kalah dalam mitos kemenangan.

Namun, berbeda dengan Sitor yang dedukif, Jokpin menulis secara induktif. Di dalam teksnya ia menghadirkan peristiwa secara langsung. Untuk itu, ia menggunakan “dua subjek lirik”, yakni Bulan dan Gadis Kecil. Untuk Bulan, Jokpin memakai gaya bahasa personifikasi. Kepadanya ia bubuhkan sifat-sifat manusia (bulan terharu, mencopot bajunya, dan seterusnya). Sedangkan Gadis Kecil adalah synecdoche pars pro toto, sebagian untuk seluruhnya. Itu berarti, gadis kecil yang dimaksud bukan hanya gadis kecil yang sering menangis di persimpangan yang dihadirkan pada teks tersebut saja, melainkan semua gadis kecil lain yang senasib, juga akhirnya merupakan wakil dari kemiskinan dan kesengsaraan secara keseluruhan. Sosok ini bolehlah dibilang sebagai “reinkarnasi” gadis kecil berkaleng kecil Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya, “Gadis Peminta-minta”.

Halnya menjadi menarik ketika dua subjek lirik tersebut ternyata juga digunakan Jokpin untuk menghadirkan realitas Lebaran dari dua perspektif. Pertama, perspektif Gadis Kecil yang tampak mewakili pandangan penyair mengenai pertentangan bahagia dengan sedih secara fisik: yakni suka cita malam Lebaran versus gadis kecil yang tidak memiliki baju (kebahagiaan). Suasana suka citanya sendiri tentu saja tidak hadir secara tekstual, melainkan secara in absentia sebagai efek dihadirkannya si gadias kecil secara tekstual (inpraesentia) tadi. Secara “dejure” suka cita itu hadir dalam pengetahuan kolektif masyarakat, sebagai mitos.

Kedua, perspektif subjek lirik Bulan yang tampak merepresentasikan pandangan filosofis penyair. Di bagian inilah Jokpin mengirim semacam surat kaleng kepada pembaca, satu cara bagaimana ia membuat kita terkejut sekaligus merenung. Ternyata, katanya, “masih ada yang membutuhkan/bajunya yang kuno/di antara begitu banyak warna-warni/baju buatan”. Larik ini mengirim pesan semiotik : suka cita Lebaran (tentu dengan kemenangan di dalamnya) adalah panorama benda yang artifisial. Faktanya, situasi seperti ini memang acap tak terhindarkan.

Dengan pola ucap demikian, sebaliknya dari Sitor, Jokpin menghadirkan “parole”—kembali mengacu pada Saussure—, yakni ujaran individu yang spesifik dan renik. Bulan dan Gadis Kecil berada dalam kisah sehari-hari. Efeknya, pembaca dimungkinkan dapat lebih akrab dengan “bulan” Jokpin daripada “bulan” Sitor. Personifikasi yang dijilmakan pada bulan dalam kisah si gadis kecil mengingatkan kita pada “dunia kebermainan” anak-anak, dunia yang penuh imajinasi. Tentu ini bukan sebuah perbandingan yang menunjukkan sajak satu lebih unggul atau lebih lemah dari yang lain. Ini sebatas untuk menunjukkan pendekatan dan metode menulis yang berbeda belaka.

Model penulisan yang menghadirkan “parole” sedemikian, secara umum merupakan karakteristik sajak Jokpin, baik dalam kumpulan ini maupun yang lain. Tentu saja, dalam proses kreatifnya Jokpin berada di dalam persilangan dengan berbagai teks dari penyair lain. Di dalam sajak-sajaknya kita dapat mencium, misalnya, “narasi puitik” yang imajis Sapardi Djoko Damono dan renungan filosofis Subagio Sastrowardoyo. Namun, justru dengan persilangan teks sedemikian kita menemukan posisi Jokpin yang menarik dalam peta perpuisian Indonesia. Hanya, tentu saja, untuk melihat hal tersebut lebih jauh, Anda harus membacanya lebih seksama. Untuk itu, buku ini memiliki peran sangat penting. Khusus untuk mahasiswa sastra, saya merekomendasikan Baju Bulan sebagai salah satu karya puisi yang wajib dibaca***

Dimuat di Kompas Minggu, 8 September 2013

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.

Jokpin Masih di Yogya

oleh Faruk

JENDELA

Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….

Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.

(2010)

Sudah banyak puisi tentang jendela hingga ia bisa dikatakan sudah menjadi metafora yang mati, seperti kata biasa digunakan dalam wacana non-puisi seperti iklan dan sebagainya. Karena itu, membaca judul puisi ini orang akan langsung memahaminya sebagai symbol mengenai ruang-antara yang mempertemukan dua dunia, dunia pribadi yang sempit dengan dunia luar yang luas. dengan jendela wawasan orang menjadi luas, tidak menjadi seperti “katak dalam tempurung”. Dalam puisi modernis kadang jendela mempertemukan dunia dunia yang bertentangan, antara yang pribadi dengan yang sosial.

Puisi di atas menggunakan metafora tersebut dengan muatan makna yang dekat dengan yang pertama. Ada dunia keluarga yang sempit dan ada alam yang luas. dunia luar yang luas itu tidak hanya alam, tapi juga waktu, buku, televise. Pada level hubungan yang lain ada juga hubungan antara diri sebagai yang sempit dengan ibu, orang lain, sebagai yang luas. biarpun keduanya itu dibayangkan terpisah, tetapi sebenarnya kedua kutub itu juga tak mau berpisah. Ketidakinginan berpisah itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka ngotot untuk bersatu. Kesatuan antara keduanya dibiarkan mengalir tanpa dipaksakan, dibiarkan mengalir secara alamiah. Kesatuan itu dilakukan cukup dengan membiarkan jendela terbuka, cukup seperti doa yang tidak banyak meminta.

Dengan terbukanya jendela itu kedua kutub di atas terpisah, tetapi juga tetap bersatu. Mereka disatukan oleh jendela. Dalam kesatuan itu anak ada dalam ibu, ibu ada dalam anak, alam di luar ada di rumah, dalam keluarga, dalam diri mereka berdua. Dalam relasi yang demikian, keluasan yang paling jauh dapat memuncak pada diri yang paling sempit. Karena itu, akumulasi dari kebersamaan, kemenduaan itu justru memuncak dalam kesendirian: puisi.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.


Seperti halnya cinta. Cinta adalah perasaan yang sangat pribadi, tetapi sekaligus yang mempertalikan seseorang dengan orang lainnya, keluarga dengan masyarakat, masyarakat dengan dunia, manusia dengan alam, dunia sini dengan dunia sana. Hanya dalam cinta manusia dapat melawan dan membebaskan diri dari trauma. Semacam “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” walaupun, di dalam puisi ini, kesatuan tersebut tidak dapat diartikan sebagai sebuah leburnya perbedaan. Yang mempersatukan keduanya adalah jendela yang di satu pihak memisahkan, di lain pihak menyatukan.

Dari segi metafora jendela ini tidak ada yang baru pada puisi di atas. Puisi itu bisa dikatakan masih tetap bagian dari tradisi. Jendela adalah jembatan bagi kesatuan antara yang di sini dengan yang di sana, yang sempit dengan yang luas. Meskipun demikian, sebagaimana yang terungkap dalam perbandingannya dengan kesatuan yang lama dalam pepatah “bersatu kita…” di atas, jendela itu menambahkan nuansa makna yang lain. Jendela tidak hanya menyatukan, tetapi juga memisahkan. Jendela adalah “kesatuan dalam keragaman, keragaman dalam kesatuan, kesamaan dan perbedaan, perbedaan dalam kesamaan”.

Sejajar dengan itu, bila judulnya mempersatukan puisi ini dengan tradisi, isinya penuh dengan kejutan yang mendefamiliarisasi, mengasingkan, dibandingkan dengan tradisi itu. Marilah kita pahami tradisi itu sebagai yogya, sebagai persada studi klub, sebagai sabana. Marilah kita pahami yogya sebagai diri, sebagai keluarga, sebagai masyarakat tradisional yang berhadapan dengan orang lain (ibu), dengan alam, dengan buku, dengan televise, dengan alam, dengan waktu.

Cara bertutur Jokpin dalam puisi itu adalah cara bertutur yang sangat khas yogya. Kehidupan sehari-hari, alam, pedesaan, rakyat kecil, kebersahajaan, dan sebagainya, dengan urutan narasi yang cenderung runtut. Namun, metaforanya adalah metafora yang penuh kejutan jika dibandingkan dengan cara bertutur Yogya. Ada jejak metafora afrizalian, penyair Jakarta yang sekarang di yogya itu, di dalamnya, misalnya objek yang bertukar tempat dengan subjek, alam yang menyempit jadi bagian dari diri. Dalam puisi di atas metafora yang serupa ini antara lain terlihat dalam kutipan berikut.

dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.


Metafora yang penuh kejutan seperti itu banyak sekali terdapat dalam puisi-puisinya yang lain. Lebih dari itu, puisi-puisi Jokpin juga tidak ragu untuk meloncat dari yang liris ke yang amat prosaic, dari yang serius ke yang hiburan, budaya popular seperti superman.

Jokpin adalah penyair yogya yang pernah mengembara ke kota dan kemudian kembali ke yogya. Akan tetapi, kembalinya ke yogya tidak membuatnya mencari kembali yang lama dan menutup jendela. Jokpin masih penyair yogya, masih pewaris psk, tetapi dengan jendela yang terbuka ke mana-mana. Jokpin penyair yogya yang hidup berdua, bersama waktu, bersama buku, bersama televise.

JOKPIN ADALAH UMBU YANG BARU.

*Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013

"Asu" dalam Kepala Joko Pinurbo

oleh Burhan Kadir

ASU

Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah. Tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.

Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.

Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.

Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.

Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”

(2011)

ASU; sebuah kata yang sangat simple, jika dibawah ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar maka kata ini akan menjelma menjadi anjing, entah itu betina atau jantan dan entah itu anjing yang lucu atau malah anjing yang bisa membuat rabies. Akhir-akhir ini aku sering mendengar kata ASU mengalun ditelingaku, meski tidak sampai merabah hatiku, tapi kata ini bila dipakai mengumpat cukup bisa membuat darah keluar bila diucapkan dalam keadaan marah, tapi itu hanya bisa terjadi di kampungku, sebuah kampung yang letaknya 80 KM dari arah kota Makassar. Artinya pun sama “Anjing”.

Sepertinya bapak Joko Pinurbo pun sangat berkesan dengan kata ASU ini, sebuah kata umpatan tapi penuh rasa sayang, tapi dalam hal tema puisi tampaknya ini hal yang baru, karena belum pernah saya temui puisi yang berjudul ASU sebelumnya. Mari kita menengok kata demi kata setelah kita melewati judulnya, bait pertama puisi ini:

Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah. Tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal


Mungkin sebuah kepantasan bila mas Joko Pinurbo diberi lebel sebagai penyair kontemporer, penulis puisi kekinian, puisi yang sudah memiliki kebebasan berekspresi, baik dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih. Mungkin beliau ingin mengembalikan puisi kembali ke hakikatnya yaitu sebuah doa. Sebagai penulis puisi yang menggunakan gaya naratif ketimbang puisi dengan gaya larik lirik yang lebih susah untuk diselami, saya tidak mengatakan puisi naratif gaya mas Joko Pinurbo sangat gampang diselami, tapi maksud saya adalah pemilihan diksi dalam puisinya sangat ringan namun tetap sarat akan misteri dan kedalaman.

Bait pertama ini terlihat bagaimana mas Joko Pinurbo kembali bermain-main kata dengan gayanya yang sangat prosaik, menulis puisi seperti menceritakan sesuatu hal yang sangat biasa, dengan diksi yang begitu ringan. Sebuah kuburan di atas bukit, dalam perjalanan bertemu dengan anjing yang besar, matanya merah, tatapannya yang tajam dan saya yakin setiap orang yang mengalaminya pasti akan mundur beberapa jengkal hinggah menjadi sebuah langkah pasti, yakni terror mental akan apa yang diperbuat anjing itu kepada kita. Bercerita tentang kuburan pastinya yang terngiang adalah kematian, bagaimana penyair melihat dan memandang sebuah kematian, apakah ini terror sang penulis yang membeberkan bahwa kematian itu menakutkan atau setelah kematian itu yang malahsangat menakutkan. Namun dibalik itu beliau tetap saja bergurau, dengan mengatakan mundur beberapa jengkal, sepertinya bila ini benar-benar terjadi pada kita, maka bukan sejengkal langkah mundur yang kita lakukan tapi mengambil langkah seribu.

Ini yang menjadi salah satu kekhasan dari mas Joko Pinurbo, menggunakan metafora-metafora yang humoris untuk melihat bagaimana kematian itu. Dia memandang bahwa kematian bukanlah hal yang harus kita takuti. Namun sebaliknya kita harus menyambutnya dengan senang. Seperti pada puisi-puisinya yang lain.

Lalu pada bait ke dua:

Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.


Pada bait kedua ini kembali hanya menawarkan pada kita sebuah cerita yang biasa, sebuah kecemasan dan bagaimana dampak bila kita tergigit oleh anjing gila, seseorang akan demam lama dan saking panasnya bisa membuat korban gigitan itu menjadi gila, tidak sadarkan diri atau dengan kata lain kesurupan, ini kata yang masyarakat beragama sering pakai. Meski terlihat seperti puisi yang berbait-bait namun pada dasarnya ini hanya sebuah cerita yang bersambung. Sebagai seorang penyair yang merekam hal-hal terkecil disekelilingnya. ‘Anjing gila’ mungkin saja sebuah idiom yang digunakan untuk mengganti kata ‘kematian’, bahwa begitu banyak orang yang begitu takut mati, bahkan memikirkannya pun menjadi enggan. Sampai-sampai mereka berbuat didunia ini seperti bahwa kematian tidak akan menjemputnya, begitu takut seperti telah tergigit anjing gila, berbuat hal-hal yang sepertinya diluar kesadarannya, lupa bahwa kematian akan datang pada semua orang, contohnya seperti kelakuan sebagian besar para pejabat dan public figure kita ditanah air ini.

Mungkin juga beliau hendak menyampaikan bahwa sekarang keadaan semua orang sama, dimana-mana selalu ada sosok “Anjing Gila” menebar kesakitan-kesakitan yang sama dan membuat orang-orang seperti tidak sadarkan diri akan apa yang dialaminya, menjadi sesuatu yang sangat biasa, nerimo karna kita hanya rakyat kecil yang kebanyakan. Beliau seperti mengumpakan sosok anjing gila itu sebagai pemerintah sekarang ini, mengumpakan media sebagai sosok anjing gila yang menebar teror lewat berita-beritanya, yang selalu sama dan menakutkan.

Lalu pada bait ke tiga dan ke empat:

Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.


Kepiawaian Mas Jokpin mengolah sudut pandang anak-anak dengan amat menyentuh. Dalam pandangannya, keadaan bagamana pun hubungan ayah dan anak adalah sesuatu yang sangat luar biasa dan diluar penginderaan. Dialog-dialog yang dihadirkan seolah memecah kebekuan pada bait-bait sebelumnya, bagaimana sosok ASU digambarkan sebagai idiom yang saling bertolak belakang namun seketika membuat kita cair akan sebuah kata ASU, dia bukan lagi sosok anjing gila, bukan umpatan kemarahan yang membuat darah mendidih, bahwa hubungan yang didasari rasa kasih sayang mampu membuat idiom itu luluh dengan sendirinya. Tidak semua ASU adalah anjing yang bisa membuat orang kesurupan dan gila hingga tak mengenal sesamanya, kata bisa menjadi malaikat namun juga bisa menjelma setan.

Pada bait terakhir:

Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”


Sepertinya waktu begitu lama namun cepat berlalu, Mas Jokpin dengan lihai membuat kita seperti berjalan maju mundur dan seketika berlari hinggah jauh kedepan, dan ketangkasannya bermain-main dengan waktu-flashback dan rentang yang melompat-lompat. Kesan kekanak-kanakan dengan gambaran dialog dengan anjing membuat kita seolah-olah tergelitik, iyya memang hanya anak-anak yang sering berdialog dengan anjing, karena kepolosan seorang anak-anak bahwa ketakutan harus dihadapi dengan sewajarnya, seperti anak-anak yang tidak tahu apa itu takut, apa itu kematian, dia sepertinya mengabarkan kepada kita semua bahwa kematian itu mesti dihadapi dengan senang, polos dan bersahabat.

Mas Jokpin adalah penulis yang sepertinya tidak perlu dibebani oleh misi-misi di luar dirinya, yang pada akhirnya menjerumuskannya pada deretan kata yang pekik. Puisi-puisi mas Jokpin merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata ringan. Walaupun dia berbahasa seperti bercerita dalam setiap puisinya, tapi selalu ada keanehan, misteri dan kejutan pada bahagian akhir puisi. Dan penyudah puisi Mas Jokpin itulah sebenarnya yang berjaya mencuit hati kita dan adakalanya kita temui kejutan yang tidak disangka serta ia seperti ending dari puisi diatas, lalu sapa yang berdialog dan berdamai dengan anjing tadi, siapa yang melolong minta tolong.

Dibalik karyanya yang tampak sepele itu, Jokpin tetap memegang disiplin berkarya terutama tata bahasa. Subjek, predikat, objek dan keterangan (SPOK) tidak pernah dilepasnya dri puisi terpendeknya sekalipun. Inilah bentuk sebuah puisi kontemporer, beragam bentuk dan rupa lebih mengutamakan makna dalam puisi itu sendiri ketimbang makna di luar puisi (bentuk puisi) seperti pada gaya puisi-puisi lama. Meski pada alam puisi yang lain pasti ada seniman dan penyair lain yang tidak suka dengan gaya prosaik dalam sebuah puisi, masih mendewakan dan merasa bahwa sebuah puisi haruslah sebuah kata yang puitik, punya struktur baku sebagai syarat sah sebuah puisi, bukan sekedar potongan-potongan prosa biasa. Namun ini adalah perkembangan puisi Indonesia seperti yang disajikan Mas Jokpin dalam tiap puisi-puisinya, yang lebih menitikberatkan kebebasan dalam mengekspresikan berbagai struktur pembangun puisinya.

Terima kasih atas kesempatan untuk menyelami misteri Puisi-Puisi mas Jokpin.

* Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013